Hai! My name is Khairunnisa. Aku biasa dipanggil runni. Sekarang
adalah hari penerimaan rapor kenaikan kelas. Penerimaan rapor kenaikan kelas
tahun pertamaku di jenjang SMP yang sangat aku rindu-rindukan setiap waktu
setelah beberapa pekan berlalu.
Tak ingin rasanya aku melewatkan banyak waktu di jalan, karena hari
ini adalah hari yang teramat istimewa. Ya, aku harus segera pulang dan
memperlihatkan hasil belajarku selama setengah tahun ini. Sebab seperti yang
telah dijanjikan oleh ayah dan bundaku bahwa aku akan mendapatkan kado istimewa
dari prestasi belajarku di sekolah. Dan nampaknya ayah dan bunda harus
merelakan sedikit uang mereka untuk membelikan kado yang telah mereka janjikan,
karena aku sudah terbukti berhasil meraih peringkat pertama di semester ini.
hehehe. Puas sekali rasa hatiku.
Oohh, kegiranganku memuncak tatkala aku berjalan pulang menuju
rumah. Sepanjang jalan seakan-akan aku melihat awan menjadi lebih biru dari
biasanya, tanah-tanah kering menjadi lebih halus dari biasanya, bunga-bunga
bermekaran di mana-mana, bahkan kerikil-kerikil kecil ikut menyayunkan kakiku
yang sedari tadi terjingkat-jingkat berlarian menghampiri pelukan ayah dan
bunda. Ahh akhirnya sebentar lagi aku berhasil mendapatkannya. Sebuah aquarium
besar yang bisa berisikan dua puluh jenis ikan itu. Nanti, setelah sampai di
rumah aku akan memindahkan semua aquarium kecilku dari atas meja ruang tengah.
Pasti begitu indah ketika aquarium besar yang penuh ikan berbagai jenis itu
menggantikan aquarium-aquarium kecil yang sudah lumutan. Di sebelahnya akan aku
pasangi rumput-rumputan dari pekarangan. Juga pasir-pasir pantai yang sudah
lama aku koleksi. Waahh, mengapa tidak dari dulu aku mendapat peringkat pertama
ya.. Jika saja aku tahu akan sebahagia ini, pasti aku akan belajar keras dari
dulu. Asiiikkk, aquarium, i’m coming nih! Tunggu Yah!
Eits, tiba-tiba aku mendengar suara sapuan tanah kering di lapang
masjid yang hanya dipisahkan oleh tiga rumah dari gang depan rumahku. Nampaknya
aku baru saja melihat seorang gadis kecil berkerudung dengan gagang sapu di
tangannya. Ahh, tidak mungkin siang-siang seperti ini ada anak yang rajin
menyapu halaman masjid. Kurang kerjaan saja. Lagi pula sapu-menyapu kan
tugasnya Mbah Habib. Sudahlah, mungkin aku yang mengigau karena terlalu
bahagianya.
Namun hanya beberapa langkah saat aku kembali melangkahkan kaki,
aku kembali mendengar suara sapuan itu, dan spontan aku memalingkan wajah
bahagiaku menuju sumber suara. Dan ternyata benar. Ada seorang anak perempuan
sedang menyapu halaman. Tapi wajahnya begitu asing bagiku. Apa mungkin itu
cucunya Mbah Habib yang selama ini beliau ceritakan. Ahh mana mungkin wajah
cucu Mbah Habib seperti itu. Sungguh tidak ada wajah-wajah Jawa sama sekali.
Apa mungkin dia....
Sebelum aku mengetahui dengan pasti siapa gadis itu, tiba-tiba
gadis itu telah menyapaku. Lembut sekali. “Assalamu’alaikum.” Sedikit kaget
agaknya aku menjawab dengan terbata-bata. “Wa Wa’alaikum kum salam, mari...”
tanpa berpikir panjang aku bergegas untuk berlari meninggalkan anak itu. Aku
memutuskan segera pulang karena malu sudah ketahuan melihat orang lain dengan
pandangan yang mencurigakan. Tanpa basa-basi lagi aku hanya memberikan senyum
kecil yang tidak beraturan dengan langkah kakiku yang kuperbesar.
Oke, nah pintu rumah sudah terbuka. Pasti ayah dan bunda tidak
sabar melihat raporku.
“Assalamu’alaikum,
Yah... Bun... Runni berhasil, Runni berhasil nih dapat peringkat pertama lhoo..
Assalamu’alaikum..”
“Eh
Dek sudah pulang. Alhamdulillaah akhinya sekarang Runni jadi juara kelas. Wah
sudah tidak ada lagi dong sekarang Runni yang pemalas.” Sambil mengelus kepala mungilku, Kak Zizah memberiku selamat. Tapi
menurutku itu bukan hanya kata selamat, tapi juga kata sindiran. Uh!
“Iya
dong kak, Runni gitu lhoo! Dan kakak harus tahu, sebentar lagi Runni akan dapat
kado spesial dari Ayah Bunda. Mau tau kadonya apa? Mau tau tidak?”
“Tidak
ah. Paling Cuma ikan hias berukuran kecil-kecil yang katanya didapatkan dari
sungai yang berbeda.”Kata Kak Zizah.
“E e
e, jangan salah Kak. Kali ini Runni datangkan langsung habitat mereka lhoo.
Sebuah aquarium besar, lengkap dengan ikan-ikannya.”
“Aquarium?” hehehe, pasti Kak Ziza sangat kaget dengan kado yang akan
diberikan Ayah dan Bunda kali ini. “O iya Kak, mana Ayah dan Bunda? Runni
sudah tidak sabar nih mau beli aquariumnya.”
“Ayah
dan Bunda lagi ke Padang jenguk Nenek, Dek.. Beliau berdua tadi terburu-buru
karena baru saja dapat kabar dari Paman kalau Nenek sedang sakit.” Jawab Kak Zizah tenang.
Apa?
“Lhoh! Tapi Ayah sama Bunda sudah janji mau lihat raporku siang ini. Lalu
Runni ditinggal sendiri???” Kaget sekali aku mendengar bahwa Ayah dan Bunda
pergi begitu mendadak.
“Iya,
tadi Ayah sama Bunda nitip pesan permohonan maaf buat Dek Runni.”
“Tidak
mau! Pokoknya Ayah sama Bunda harus pulang sekarang. Pulang sekarang!” Kesal sekali rasanya. Padahal aku ingin sekali raporku ini pertama
kali dibuka oleh Ayah dan Bunda.
“Adek,
tenang aja. Ayah dan Bunda juga menitipkan sesuatu lho buat kamu. Mau lihat
tidak? Kalau menurut Kak Ziza sih itu kado yang Adek maksud. Sebentar Kakak
ambilkan dulu.”
Tak menunggu lama Kak Ziza masuk ke ruang tengah dan kembali lagi
dengan membawa sebuah bingkisan besar. Waah, mungkin memang benar kata Kak
Ziza. Ini adalah kado yang aku maskud. Ya sudahlah, kalau memang Ayah dan Bunda
belum bisa melihat raporku, setidaknya aku masih mendapatkan kadoku tepat
waktu. Dengan mengucapkan basmalah, aku buka kadoku dengan mata
berbinar-binar sambil tanganku terus menyibak lapisan-lapisan kertas kado yang
ada di dekat kakiku.
Namun semakin lama perasaanku semakin tidak karuan. Semakin
berantakan. Dan ketika wujud kadoku telah terlihat secara keseluruhan, aku
benar-benar tidak bisa membayangkan apa yang harus aku lakukan. Aku pandangi
dengan saksama. Aku bolak-balik dan tanpa basa-basi seketika itu juga kado yang
ada di tanganku aku hempaskan ke lantai hingga pecah dan berserakan ke
mana-mana. Ku dengar teriakan dari Kak Ziza yang kalut dan kaget. Aku pun
merasa kaget. Sesaat aku melihat serpihan-serpihan kado itu aku merasa sangat
bersalah dan menyesal. Mengapa aku banting kado itu. Mengapa..
Ahh tapi sesaat kemudian kekesalanku telah mengalahkan
penyesalanku. Bagaimana tidak? Sedari tadi aku berlarian dari sekolah hanya
untuk melihat kado spesialku. Dari Ayah dan Bundaku. Sudah berlelah-lelah aku
membayangkan semua tentang aquarium, ikan-ikan, pepasiran, rumput-rumputan, dan
semuanya telah hilang dalam sekejap, terhempas bersama kado yang baru saja aku
terima itu.
Kini aku berlari tak tahu kemana. Aku hanya ingin berlari dan
berlari. Meninggalkan semua. Meninggalkan semua khayalan yang tak menjadi
kenyataan itu. meninggalkan Kak Ziza, meninggalkan rumah, dan aku harus
meninggalkan Ayah dan Bunda yang sudah membuatku begitu kecewa. Hanya ada satu
yang ada dalam pikiranku saat ini, yaitu kekecewaan yang besar. Maka aku
bertekad untuk menjauh dari mereka.
Ya, mereka benar-benar tidak pernah memikirkan apa yang aku
inginkan. Mereka hanya ingin aku menjadi juara kelas. Mereka hanya ingin aku
menjadi anak yang shalih. Mereka hanya ingin aku menghafal Qur’an, menghafal
hadits, menghafal doa-doa. Mereka hanya ingin aku menuruti semua apa yang
mereka inginkan. Tapi mereka tidak pernah memikirkan apa yang aku inginkan.
Mereka tidak pernah memikirkan apa yang aku mau. Aku benar-benar menyesal
memiliki orang tua yang sangat egois dan tidak berperasaan! Apa susahnya untuk
membeli sebuah aquarium? Apa mereka akan jatuh miskin hanya dengan membelikan
aku aquarium itu? Aku, Runni. Seorang anak perempuan yang sudah tidak disayangi
orang tuanya. Maka aku Runni saat ini akan menjadi seorang anak yang tidak akan
bergantung pada orang tuanya. Anak yang tidak akan kembali pada orang tuanya.
Ya, tidak akan!
“Allah,
aku hanya ingin sebuah aquarium. Apa aku salah? Aku sudah berusaha keras selama
ini untuk mendapatkannya. Tapi Ayah dan Bunda tetap saja tidak mempedulikan apa
yang aku inginkan.”
Belum lama aku berlari, aku sudah merasakan lelah yang luar biasa.
Aku baru ingat bahwa seharian aku belum sarapan dan minum. Hanya dua buah
anggur kecil yang berkesempatan untuk masuk ke perutku tadi pagi. Aku
benar-benar kehausan. Ahh andai saja aku mendapat aquarium, pasti aku tidak
akan berlari dari rumah seperti ini.
Bergegas aku kembali melangkahkan kaki, namun kali ini cukup dengan
berjalan. Aku menuju sebuah aliran sungai di sebelah sawah belakang desa. Aku
ingat bahwa di sana ada aliran air yang
cukup jernih. Mungkin aku bisa meminumnya. Dan akhirnya sampai juga aku di
pinggiran sungai. Ada batu besar yang menutup aliran air jernih yang aku
maksud.
“Alhamdulillah.
Akhirnya mendapat air juga.”
“Alhamdulillah!
Di Indonesia memang mudah mendapatkan air. Dengan aman tentunya.” Suara anak kecil tadi mucul kembali. Sekali lagi aku merasakan
kaget yang teramat. Dari yang tadinya aku kira sendiri di sungai ini, ternyata
ada anak lain yang telah lebih dulu menempati tempat persinggahanku.
Aku lihat senyuman lebar di wajah anak perempuan itu. Tak ragu lagi
bahwa anak itu memang bukan dari Indonesia. Aku masih ingat betul pelajaran Bu
Hamidah di mata pelajaran Sejarah tentang pembagian suku dan ras. Anak
perempuan itu memiliki kulit yang putih, dengan bulu mata yang lentik, dan
hidung yang mancung.
“You,
Indonesia?” Pertanyaan
sedapatku yang menggambarkan keherananku saat ini. Waah, ternyata ada bule juga
di tempat kelahiranku ini.
“Iya.
Saya Indonesia.”
“Sorry.
Tapi wajahmu bukan Indonesia.” Meskipun
Bahasa Inggrisku tidak karuan, aku tetap saja percaya diri untuk menggunakan
bahasa Inggris di depan anak bule itu. Hitung-hitung mempraktikkan pelajaran
wajib Berbahasa Inggris di sekolahku yang akan terlaksana setiap hari Rabu
mulai tahun ajaran baru.
“Ana
Filistin.” Jawab lembut anak itu.
“Apa?
Fil? Fil apa? Maaf aku kurang jelas mendengar, mungkin karena suara air yang
terlalu keras.” Alasanku agar
aku tidak malu karena aku benar-benar tidak tahu tentang daerah asalnya itu,
yang namanya jarang sekali aku dengar selama aku hidup di desa ini.
“Saya
Sarah. Saya memang bukan anak Indonesia, saya anak Palestina. Salam kenal ya.
Namamu siapa?” Ia
memperkenalkan diri dengan menjabat tanganku.
Palestina? Ooh ya. kalau Palestina aku pernah mendengar. Ayah dan
Bunda pernah melihat acara televisi yang di dalamnya sedang memberitakan kondisi
Palestina. Jadi Fil Fil tadi itu nama lain dari Palestina to...
“Aku
Runni. Aku asli anak desa sini. Nampaknya aku belum pernah melihatmu emm Sarah.
Lalu dengan asal daerahmu, Palestina. Ya aku pernah mendengar daerah asalmu
itu. Tapi bukannya Palestina itu jauh sekali ya dari sini? Kamu dengan siapa ke
Indonesia? Ada acara kamu ke Indonesia?”
Rasa hausku seketika hilang digantikan dengan rasa keingintahuanku tentang
Sarah Si anak Palestina itu.
“Hai
Runni! Iya, kau benar. Palestina memang jauh sekali dari Indonesia, negaramu
ini. Aku baru satu hari pulau Jawa ini. Sebelumnya aku ikut dengan bibi Fatimah
di Sulawesi.”
“Oo,
jadi kamu punya keluarga di Indonesia?”Tanyaku.
“Tidak. Aku sudah tidak punya keluarga,
Runni.. kebetulan bibi Fatimah adalah relawan kesehatan di Palestina awal tahun
lalu. Beliau menemukanku ketika aku berada di rumah sakit. Dan akhirnya aku
dibawa ke Indonesia. Makanya jangan heran kalau aku bisa berbicara dengan
bahasamu Runni.. sudah hampir dua tahun aku di Indonesia.”
Dua
tahun? Jadi Sarah sudah dua tahun di Indonesia ini? Lalu orang tuanya?
“Memangnya
kemana keluargamu? Kenapa juga bibi Fatimah pergi ke Palestina? Maksudku,
bagaimana dengan orang tuamu? Apa mereka tidak mencarimu? Dua tahun itu waktu
yang lama kan ya Sarah.”
Belum ia menjawab beberapa pertanyaan dariku, aku melihat matanya
mengalirkan air bening yang kemudian membasahi pipinya. Sontak aku merasa
bingung dan iba. Seakan-akan kekesalanku yang tad aku rasakan sejenak hilang.
Perasaanku menjadi sangat iba, sepertinya kesedihan Sarah melebihi kesedihanku
hari ini.
“Palestina
bukan daerah yang aman Runni. Jika kamu kesana, maka akan kamu temukan sejuta
suasana yang sangat berbeda dengan negaramu ini. Kalau saja aku masih bia
bertemu dengan kedua orang tuaku, aku tidak akan berada di sini sekarang,
Runni..”
Kemudian
bertambah deras air mata Sarah keluar. Dan ia tetap melanjutkan untuk
berbicara.
“Terakhir
kali aku di Palestina adalah saat aku menggendong adikku yang masih bayi.
Hingga deruman tank-tank besar mengebom rumah dan pekarangan kami. Aku tidak
sadarkan diri. Ketika aku mulai sadar dan ingin bangun, aku tidak bisa Runni.
Kaki dan setengah badanku tertimpa reruntuhan dinding. Sedangkan adik bayiku
tak terdengar lagi. Sampai sekarang aku tidak tahu di mana adikku yang aku
gendong waktu itu.”
“Jadi
Ayah dan Ibumu terkena reruntuhan itu juga? Tank-tank seperti apa yang kamu
maksdukan Sarah? Aku tidak pernah melihat tank-tank kecuali di museum kota
perjuangan. Atau mungkin semacam gas LPG
yang meledak ya?” Rasa
penasaranku semakin kuat.
“Ayah
dan Ibuku tidak terkena reruntuhan itu Runni.” Jawabnya yang kemudian aku potong dengan kalimatku.
“Ooh,
Alhamdulillah, orang tuamu masih selamat.”
Kataku.
“Orang
tuaku memang tidak terkena reruntuhan itu karena mereka berdua telah terlebih
dulu meninggal di tangan para tentara yang kejam. Kamu ingin tahu bagaimana
Ayah dan Ibuku?”
Sungguh
aku ingin mendengarkan cerita Sarah. Langsung saja aku bergegas menjawab “Ya.
Bagaimana Ayah dan Ibumu?”
Sebelum
Sarah menceritakan bagaimana Ayah dan Ibunya, ia pergi sejenak ke arah aliran
air jernih. Aku amati dia, ternyata Sarah sedang mengambil wudlu. Tak lama
kemudian Sarah melanjutkan kisahnya.
“Aku
adalah anak pertama, Runni. Aku memiliki empat orang saudara. Semua adikku
laki-laki. Jadi hanya aku yang menjadi anak perempuan. Tapi hal itu tidak
membuatku manja. Aku dituntut untuk menjadi seorang kakak yang bertanggungjawab
atas adik-adiknya. Jika kebanyakan anak perempuan di Indonesia masih bisa
bermain kesana kemari, aku sebagai kakak tertua tidak ingin seperti itu. Aku
ingin menjadi kakak yang bisa melindungi adik-adikku Runni. Maka aku harus
menjadi seorang anak perempuan yang gagah berani.
Ayahku
bekerja di pertanian. Sedangkan Ibuku selalu menjagaku dan adik-adikku di
rumah. Aku mempunyai hobi memasak. Setiap hari aku sering membantu Ibu untuk
memasak. Aku suka dengan kegiatan itu. Sampai pada suatu hari ada seorang tamu
yang datang ke rumahku. Beliau adalah Syaikh yang terkenal di tempatku. Aku
diminta untuk membuat makanan untuk dihidangkan. Kemudian aku diberikan tali
berwarna putihcoleh Ayah sebagai hadiah karena aku telah membantu memasak Ibu
hari itu.
Dan
jangan kamu bayangkan semewah apa masakan yang selalu aku masak ya Run. Yang
aku masak setiap hari hanyalah semangkuk gandum dan seikat daun. Jika sedang
tidak ada makanan, maka aku terpaksa merebus rerumputan yang Ibu pilih dari
ladang samping.
Setelah
hampir satu jam tamu Ayah ada di rumah, tiba-tiba suara gemuruh tank-tank
perang mendekat ke rumah kami. Tentara-tentara yang ada di dalam mobil serempak
keluar dan masuk ke rumah kami. Mereka membawa Syaikh dan Ayahku. Mereka dibawa
ke dalam mobil. Sebelum tentara-tentara itu pergi, mereka membakar rumah kami.
Dan kami tidak bisa keluar dengan cepat. Ibu, wanita yang sangat aku sayangi
akhirnya meninggal di rumah yang penuh dengan asap. Aku masih berusaha membawa
keluar adik-adikku. Dan kami berhasil keluar. Namun satu hal yang membuatku
sangat sedih. Adik keduaku harus kehilangan tangannya. Tangannya terluka parah
saat ia mengambil tali pemberian Ayah untukku. Ia tahu bahwa aku sangat
menyukai tali itu.
Dua
hari kemudian, bom-bom terdengar di lingkungan tempat aku bersembunyi setelah kejadian
kebakaran di rumahku. Dan semuanya telah tiada Runn. Tinggal aku dan tali putih
ini.”
Suasana siang di pinggir sungai saat ini menjadi sangat sepi. Hanya
ada rasa hati yang sangat sedih. Aku tidak bisa menahan tangisku. Ternyata
begitu berat kesedihan yang dialami Sarah.
“Aku
sangat rindu dengan kedua orang tuaku Runn, tapi hanya tali putih ini yang aku
punya. Dan aku akan mencintai mereka, seperti mereka telah mencintaiku. Aku
sangat menyukai tali putih ini. Meski sangat kecil dan tidak berharga di mata
orang lain, tapi ini benar-benar sangat berarti untukku Runn.” Lanjut Sarah.
Kalimat Runni yang terakhir ini
membuatku sangat kaget dan mengingat semua permasalahan sepulang sekolah tadi.
Aku menjadi teringat dengan kado itu. kado yang diberikan oleh Ayah dan Bunda
dengan penuh cinta. Aku menjadi teringat dengan Ayah dan Bunda yang telah
mempersiapkannya untukku. Aku menjadi teringat semua kejadian tadi. Ketika aku
membuang kado itu, ketika aku lari dari rumah, ketika aku memaki Ayah dan
Bunda. Ketika aku tidak menginginkan kehadirannya.
“Ya
Allah,.” Air mataku bertambah deras, dan
akhirnya aku menangis sekeras-kerasnya. Nampaknya Sarah agak bingung dengan
tangisanku.
Namun sesaat, tiba-tiba terdengar suara Kak Zizah di belakang
semak-semak. Ternyata Kak Zizah mencariku. Aku bergegas memeluknya, dan
menangis sejadi-jadinya di pundaknya.
“Kak,
maafkan Runni.. Runni sayang Kakak, Ayah dan Bunda. Runni menyesal sudah
membuang kado itu Kak.. Runni tidak mau kehilangan kalian. Maafkan Runni Kak.”
“Ayah
dan Bunda sangat menyayangimu Dek. Kamu ingin tahu tidak mengapa Ayah dan Bunda
tidak membelikanmu aquarium? Tetapi memberikanmu kotak kosong?”
“Ti..Tidak
Kak..” Jawabku terisak.
“
Ayah dan Bunda ingin memberikan kado setiap hari buat Dek Runni. Agar Ayah dan
Bunda dapat selalu meletakkan hadiah yang berbeda di kotak itu setiap hari buat
Dek Runni. Karena Ayah dan Bunda tahu kerja keras Adek. Karena Ayah dan Bunda
Bangga memiliki Adek.”
Hancur sudah kekecewaanku yang tadi aku utarakan. Hancur sudah
kesedihanku karena aku tidak mendapatkan aquarium. Semuanya telah tergantikan
dengan kado yang lebih besar dan berharga. Ayah dan Bunda, adalah kado terindah
yang aku punya.
By: Latifatul Fajriyah
(Naskah yang
dikirimkan dalam lomba cerpen Pro-U Media)