Pages

Tuesday 21 April 2015

Ketika Jiwa Telah Gagal


Ketika jiwa telah gagal.
Tak hanya sekali jiwa yang selama ini menjadi pembeda antara mati dan hidup, gagal mempertahankan posisi diri sebagai bagian dari manusia yang dimuliakan. Sesekali berada pada tepian hitam sejarah kemanusiaan. Sesekali bengis tak berpeduli. Sesekali turun menemani iman yang semakin melemah. Sesekali terpaksa terinjak nafsu. Sesekali susah bangkit dalam kekecewaan. Sesekali tenggelam dan bahkan menyelami rantai kemaksiatan. Sadar atau tak sadar, jiwa telah begitu menikmati rangkaian dosa yang menjelma menjadi santapan keseharian. Hingga kefithrahan pun tertelan.
Lalu bagaimana jika sudah begitu adanya? Banyak yang memilih membunuh jiwa itu sendiri karena mungkin terlalu putus asa bahwa jiwa sudah tak bisa disembuhkan. Banyak yang memilih tetap berada pada posisi, karena mungkin merasa sayang jika semuanya hilang. Ada pula yang memilih untuk berhijrah, membawa jiwa yang compang-camping tersebut menuju perbaikan demi perbaikan.
Itu semua seutas-seutas pilihan. Pilihan yang harus dilalui oleh sang pengendali jiwa. Manusia dengan segala kekurangan dan kelebihannya adalah makhluk yang bertanggung jawab atas pelabuhan jiwa mereka. Akan dibawa kemana, ya terserah!
Dalam pilihan ketiga (memilih untuk hijrah), dalam buku Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim karya Salim A. Fillah yang membahas “Perpisahan”, barangkali dapat mewakilkan jalan bagaimana sepucuk jiwa yang dibawa berhijrah, dibawa dalam perpisahan dengan dunia jiwa yang gagal. Dalam tulisan tersebut, perpisahan diartikan setidaknya menjadi tiga hal: berpisah artinya berlepas diri, berpisah artinya ujian cinta, dan berpisah artinya berbeda.
Dalam artian yang pertama (berpisah artinya berlepas diri), beliau menjelaskan kemerdekaan itu menuntut sebuah proklamasi. Bahwa kita telah melepaskan diri dari semua intervensi, tekanan, dan kekangan oleh semua bentuk jahiliah dan musuh fithrah.
Lanjutnya, berlepas diri adalah sebuah kemuliaan. Ketidaktergantungan kepada musuh fithrah dan jahiliah, membangun set psikologis yang penuh percaya diri, sejajar bahkan unggul di hadapan tiran jahiliah yang lacut.
Artian yang kedua (berpisah artinya ujian cinta), dalam beberapa paragrafnya Pak Salim juga menjelaskan bahwa nilai mulia seorang pengikrar, bukan terletak pada lengkingan suara tenornya meneriakkan sebuah slogan. Demi Allah. Sang Pemilik Kemuliaan yang berhak untuk menguji, menyeleksi dan menetapkan gelar mukmin bagi siapapun yang dikehendakiNya. Ketika pengikrar ini menyatakan berpisah dengan jahiliah dan musuh fithrah, di sinilah sebuah titik tolak dipancangkan: bahwa ia siap menerima ujian untuk melengkapi syarat kelulusannya sebagai mukmin.
Keluarga Yassir yang dijanjikan surga, menjadi kronik yang menyejarah tentang beratnya ujian di saat harus berpisah dengan jahiliah. Bilal adalah sosok lain, bak kacang goreng hitam menggosong di atas pasir pinggiran Makkah yang membakar. Deraan cambuk, tindihan batu, pukulan kayu, dan sengat mentari tengah hari yang membakar gores-gores luka meretih adalah menu harian yang disajikan bagi ahli iman Makkah di awal-awal risalah. Tegas Pak Salim.
Beliau menjelaskan pula bahwa gemilang generasi pertama ummat ini menyelesaikan ujiannya. Mereka menemukan ‘aqidah sebagai buhul ikatan pengganti sempurna untuk menggantikan ikatan jahiliah yang telah lapuk membusuk. Allah, Rasul, dan jihad begitu mereka cintai. Tak ada lagi alasan untuk mencari cinta yang lain, apatah lagi menyayangi apa yang dibenci Allah dan RasulNya.
Dalam artian yang ketiga (berpisah artinya berbeda), Pak Salim kembali menjelaskan bahwa tidak ada artinya perpisahan fisik, kalau batin masih saling terikat. Tak ada kemerdekaan sejati, selama yang jauh di mata masih dekat di hati. Perpisahan kita dengan jahiliah dan musuh fithrah adalah sebuah kemerdekaan dari segala jenis keterbelengguan dalam perasaan, pemikiran, ucapan, dan tindakan. Kita merdeka untuk menegakkan fithrah kita, mentauhidkan Allah dan memakmurkan bumiNya.
Tegas beliau, mengapa kita harus berbeda, berbeda, dan berbeda? Agar orang yang telah mereguk manisnya iman tidak kembali termasuk ke dalam golongan-golongan jahiliah yang hina hanya karena masalah-masalah sepele semacam penampilan.
Sumber: Fillah, S. A. (2007). Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim. Yogyakarta: Pro-U Media.

Tuesday 14 April 2015

bukan denganku




Aku, menunggu secarik kertas takdir yang aku tak tahu pasti
Memberi senyuman semu yang mengubur keikhlasan
Tumbuh bergetar melilit nadi yang semakin memucat

Aku, menggemeretakkan suara-suara
Yang harap dunia bisa melihat lalu memuji
Hingga aku keluar bukan denganku
Melainkan dengan entah aku tak tahu

Munafikkah aku

Monday 13 April 2015

Menari di Atas Hijrah





Hijrah, dari gelap menuju terang
Membawa setangguh harapan
Kemenangan nyata dalam hati yang papa
Cinta yang renta biarlah menampakkan sucinya
Agar membumihanguskan segala keputusasaan

Bersemayamlah sang rindu yang telah lama hilang
Berdesir mengayunkan ketenangan syurga
Menata perlahan jiwaku yang kosong
Biarlah terus terisi ayat-ayat rindu yang berazzam

Ketika cinta dan rindu kuajak berhijrah,
Dan kupasrahkan keduanya
Maka biarlah keduanya menemaniku tuk menari
Menikmati melodi harmoninya sang hijrah

Tuesday 7 April 2015

apa kabar sang jiwa

apa KABARnya JIWA?
masihkah ia  bertahan menahan sebongkah dosa asa yang pahit dan kejam
masihkah ia merunduk kesakitan bertaruh kekuatan dengan bayang dan jejak neraka yang terasa lebih awal

atau ia kini sudah tak bisa dipercaya membawa napas yang bersahaja?

berlari tak berujung menemukan sepotong kain tambalan
untuk menutupi  sisa-sisa harapan yang semakin hilang
memutar di semua sudut dunia
untuk mencari tabib kesembuhan

benarkah ia masih dapat dibawa menuju syurga?
yang taman-tamannya hanya menghendaki para jiwa yang merdeka
jiwa yang bebas dari bungkaman nafsu yang direndahkan

andai ia bisa, mengupasi kulit-kulit yang berdosa
ia akan
andai ia bisa, membangun kembali dermaga perapiannya
ia akan