Ketika jiwa telah gagal.
Tak hanya sekali jiwa yang selama ini menjadi pembeda antara mati
dan hidup, gagal mempertahankan posisi diri sebagai bagian dari manusia yang
dimuliakan. Sesekali berada pada tepian hitam sejarah kemanusiaan. Sesekali bengis
tak berpeduli. Sesekali turun menemani iman yang semakin melemah. Sesekali terpaksa
terinjak nafsu. Sesekali susah bangkit dalam kekecewaan. Sesekali tenggelam dan
bahkan menyelami rantai kemaksiatan. Sadar atau tak sadar, jiwa telah begitu
menikmati rangkaian dosa yang menjelma menjadi santapan keseharian. Hingga kefithrahan
pun tertelan.
Lalu bagaimana jika sudah begitu adanya? Banyak yang memilih
membunuh jiwa itu sendiri karena mungkin terlalu putus asa bahwa jiwa sudah tak
bisa disembuhkan. Banyak yang memilih tetap berada pada posisi, karena mungkin
merasa sayang jika semuanya hilang. Ada pula yang memilih untuk berhijrah,
membawa jiwa yang compang-camping tersebut menuju perbaikan demi perbaikan.
Itu semua seutas-seutas pilihan. Pilihan yang harus dilalui oleh
sang pengendali jiwa. Manusia dengan segala kekurangan dan kelebihannya adalah
makhluk yang bertanggung jawab atas pelabuhan jiwa mereka. Akan dibawa kemana,
ya terserah!
Dalam pilihan ketiga (memilih untuk hijrah), dalam buku Saksikan
Bahwa Aku Seorang Muslim karya Salim A. Fillah yang membahas “Perpisahan”,
barangkali dapat mewakilkan jalan bagaimana sepucuk jiwa yang dibawa berhijrah,
dibawa dalam perpisahan dengan dunia jiwa yang gagal. Dalam tulisan tersebut,
perpisahan diartikan setidaknya menjadi tiga hal: berpisah artinya berlepas
diri, berpisah artinya ujian cinta, dan berpisah artinya berbeda.
Dalam artian yang pertama (berpisah artinya berlepas diri), beliau
menjelaskan kemerdekaan itu menuntut sebuah proklamasi. Bahwa kita telah
melepaskan diri dari semua intervensi, tekanan, dan kekangan oleh semua bentuk
jahiliah dan musuh fithrah.
Lanjutnya, berlepas diri adalah sebuah kemuliaan. Ketidaktergantungan
kepada musuh fithrah dan jahiliah, membangun set psikologis yang penuh percaya
diri, sejajar bahkan unggul di hadapan tiran jahiliah yang lacut.
Artian yang kedua (berpisah artinya ujian cinta), dalam beberapa
paragrafnya Pak Salim juga menjelaskan bahwa nilai mulia seorang pengikrar,
bukan terletak pada lengkingan suara tenornya meneriakkan sebuah slogan. Demi Allah.
Sang Pemilik Kemuliaan yang berhak untuk menguji, menyeleksi dan menetapkan
gelar mukmin bagi siapapun yang dikehendakiNya. Ketika pengikrar ini menyatakan
berpisah dengan jahiliah dan musuh fithrah, di sinilah sebuah titik tolak
dipancangkan: bahwa ia siap menerima ujian untuk melengkapi syarat kelulusannya
sebagai mukmin.
Keluarga Yassir yang dijanjikan surga, menjadi kronik yang
menyejarah tentang beratnya ujian di saat harus berpisah dengan jahiliah. Bilal
adalah sosok lain, bak kacang goreng hitam menggosong di atas pasir pinggiran
Makkah yang membakar. Deraan cambuk, tindihan batu, pukulan kayu, dan sengat
mentari tengah hari yang membakar gores-gores luka meretih adalah menu harian
yang disajikan bagi ahli iman Makkah di awal-awal risalah. Tegas Pak Salim.
Beliau menjelaskan pula bahwa gemilang generasi pertama ummat ini
menyelesaikan ujiannya. Mereka menemukan ‘aqidah sebagai buhul ikatan pengganti
sempurna untuk menggantikan ikatan jahiliah yang telah lapuk membusuk. Allah,
Rasul, dan jihad begitu mereka cintai. Tak ada lagi alasan untuk mencari cinta
yang lain, apatah lagi menyayangi apa yang dibenci Allah dan RasulNya.
Dalam artian yang ketiga (berpisah artinya berbeda), Pak Salim
kembali menjelaskan bahwa tidak ada artinya perpisahan fisik, kalau batin masih
saling terikat. Tak ada kemerdekaan sejati, selama yang jauh di mata masih
dekat di hati. Perpisahan kita dengan jahiliah dan musuh fithrah adalah sebuah
kemerdekaan dari segala jenis keterbelengguan dalam perasaan, pemikiran,
ucapan, dan tindakan. Kita merdeka untuk menegakkan fithrah kita, mentauhidkan
Allah dan memakmurkan bumiNya.
Tegas beliau, mengapa kita harus berbeda, berbeda, dan berbeda? Agar
orang yang telah mereguk manisnya iman tidak kembali termasuk ke dalam
golongan-golongan jahiliah yang hina hanya karena masalah-masalah sepele
semacam penampilan.
Sumber: Fillah, S. A. (2007). Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim.
Yogyakarta: Pro-U Media.