Pages

Sunday 13 March 2016

Kami Menjadi Saksi

          Suatu hari datanglah Jibril suci membawa titah Sang Maha Suci.  Dalam keheningan fajar dibalik ujung kaki shubuh, sefithrah ruh tercipta dengan indah mengikuti angin penciptanya. Dengan lantunan kun! ("jadilah!"), seikat darah dan daging telah  menjadi saksi keagungan Ilahi. Perjanjian besar telah disepakati, akan menghamba sepenuhnya sebagai bukti pengabdian yang sejati. Di saat itulah seorang hamba mulai mengetahui alasan mengapa ia diciptakan.
         
           "Bukankah Aku ini Tuhanmu?"
           "Ya, kami menjadi saksi"...

          Sungguh, kedua kalimat itu telah menyingsingkan segala keangkuhan. Dua kalimat yang menjadi bagian percakapan antara Allah SWT dengan hamba-hambaNya. Sebuah percakapan yang kebanyakan hamba melalaikannya, dan seakan tak pernah mengucapkannya setelah lahor ke dunia.

         Namun bagai kacang yang lupa pada kulitnya. Bagai ikan yang lupa danaunya. Bagai akar yang lupa pada tanahnya. Diri seakan begitu kuat untuk mengelak atas keberadaanNya, padahal tiada akan pernah ada wujud sang hamba tanpa kehendakNya. Seakan dua kalimat tersebut hanya sebagai bualan dan sejarah yang tak nyata.

          Banyak jiwa yang tidak sadar akan asal penciptaannya, yang kemudian berlari menuju sesuatu yang fana. Mulutnya memberontak, "aku bukanlah manusia yang tercipta hanya untuk menghamba! aku tidak pernah membuat perjanjian dengan siapa pun juga!".
   
          Bahkan, tak sadarkah wahai hamba, bahwa jiwamu sebenarnya tak sanggup menahan duka? Mungkin mulutmu mampu menutupi, namun jiwamu sebenarnya masih ingin merasa sebagai hamba yang sebenar-benarnya. Kembali pada Penciptanya. Bukan angkuh menutup mata. Jiwamu sebenarnya masih ingin sujud merendah tunduk di hadapanNya.

         

0 comments :

Post a Comment